Facebook Pages

KISAH SUNAN AMPEL

PRABU Sri Kertawijaya tak kuasa memendam
gundah. Raja Majapahit itu risau memikirkan pekerti
warganya yang bubrah tanpa arah. Sepeninggal
Prabu Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada,
kejayaan Majapahit tinggal cerita pahit. Perang
saudara berkecamuk di mana-mana. Panggung judi,
main perempuan, dan mabuk-mabukan menjadi
''kesibukan'' harian kaum bangsawan --pun rakyat
kebanyakan.
Melihat beban berat suaminya, Ratu Darawati
merasa wajib urun rembuk. ''Saya punya
keponakan yang ahli mendidik kemerosotan budi
pekerti,'' kata permaisuri yang juga putri Raja
Campa itu. ''Namanya Sayyid Ali Rahmatullah, putra
Kakanda Dewi Candrawulan,'' Darawati
menambahkan. Tanpa berpikir panjang, Kertawijaya
mengirim utusan, menjemput Ali Rahmatullah ke
Campa --kini wilayah Kamboja.
Ali Rahmatullah inilah yang kelak lebih dikenal
sebagai Sunan Ampel. Cucu Raja Campa itu adalah
putra kedua pasangan Syekh Ibrahim Asmarakandi
dan Dewi Candrawulan. Ayahnya, Syekh Ibrahim,
adalah seorang ulama asal Samarkand, Asia
Tengah. Kawasan ini melahirkan beberapa ulama
besar, antara lain perawi hadis Imam Bukhari.
Ibrahim berhasil mengislamkan Raja Campa. Ia
kemudian diangkat sebagai menantu. Sejumlah
sumber sejarah mencatat silsilah Ibrahim dan
Rahmatullah, yang sampai pada Nabi Muhammad
lewat jalur Imam Husein bin Ali. Tarikh Auliya karya
KH Bisri Mustofa mencantumkan nama Rahmatullah
sebagai keturunan Nabi ke-23.
Ia diperkirakan lahir pada 1420, karena ketika
berada di Palembang, pada 1440, sebuah sumber
sejarah menyebutnya berusia 20tahun. Soalnya,
para sejarawan lebih banyak mendiskusikan tahun
kedatangan Rahmatullah di Pulau Jawa. Petualang
Portugis, Tome Pires, menduga kedatangan itu pada
1443.
Hikayat Hasanuddin memperkirakannya pada
sebelum 1446 --tahun kejatuhan Campa ke tangan
Vietnam. De Hollander menulis, sebelum ke Jawa,
Rahmatullah memperkenalkan Islam kepada Raja
Palembang, Arya Damar, pada 1440. Perkiraan
Tome Pires menjadi bertambah kuat. Dalam
lawatan ke Jawa, Rahmatullah didampingi ayahnya,
kakaknya (Sayid Ali Murtadho), dan sahabatnya (Abu
Hurairah).
Rombongan mendarat di kota bandar Tuban,
tempat mereka berdakwah beberapa lama, sampai
Syekh Asmarakandi wafat. Makamnya kini masih
terpelihara di Desa Gesikharjo, Palang, Tuban. Sisa
rombongan melanjutkan perjalanan ke Trowulan,
ibu kota Majapahit, menghadap Kertawijaya. Di
sana, Rahmatullah menyanggupi permintaan raja
untuk mendidik moral para bangsawan dan kawula
Majapahit.
Sebagai hadiah, ia diberi tanah di Ampeldenta,
Surabaya. Sejumlah 300 keluarga diserahkan untuk
dididik dan mendirikan permukiman di Ampel.
Meski raja menolak masuk Islam, Rahmatullah
diberi kebebasan mengajarkan Islam pada warga
Majapahit, asal tanpa paksaan. Selama tinggal di
Majapahit, Rahmatullah dinikahkan dengan Nyai
Ageng Manila, putri Tumenggung Arya Teja, Bupati
Tuban.
Sejak itu, gelar pangeran dan raden melekat di
depan namanya. Raden Rahmat diperlakukan
sebagai keluarga keraton Majapahit. Ia pun makin
disegani masyarakat. Pada hari yang ditentukan,
berangkatlah rombongan Raden Rahmat ke Ampel.
Dari Trowulan, melewati Desa Krian, Wonokromo,
berlanjut ke Desa Kembang Kuning. Di sepanjang
perjalanan, Raden Rahmat terus melakukan dakwah.
Ia membagi-bagikan kipas yang terbuat dari akar
tumbuhan kepada penduduk. Mereka cukup
mengimbali kipas itu dengan mengucapkan
syahadat. Pengikutnya pun bertambah banyak.
Sebelum tiba di Ampel, Raden Rahmat membangun
langgar (musala) sederhana di Kembang Kuning,
delapan kilometer dari Ampel.
Langgar ini kemudian menjadi besar, megah, dan
bertahan sampai sekarang --dan diberi nama
Masjid Rahmat. Setibanya di Ampel, langkah
pertama Raden Rahmat adalah membangun masjid
sebagai pusat ibadah dan dakwah. Kemudian ia
membangun pesantren, mengikuti model Maulana
Malik Ibrahim di Gresik. Format pesantrennya mirip
konsep biara yang sudah dikenal masyarakat Jawa.
Raden Rahmat memang dikenal memiliki kepekaan
adaptasi. Caranya menanamkan akidah dan syariat
sangat memperhatikan kondisi masyarakat. Kata
''salat'' diganti dengan ''sembahyang'' (asalnya:
sembah dan hyang). Tempat ibadah tidak dinamai
musala, tapi ''langgar'', mirip kata sanggar. Penuntut
ilmu disebut santri, berasal dari shastri --orang
yang tahu buku suci agama Hindu.
Siapa pun, bangsawan atau rakyat jelata, bisa
nyantri pada Raden Rahmat. Meski menganut
mazhab Hanafi, Raden Rahmat sangat toleran pada
penganut mazhab lain. Santrinya dibebaskan ikut
mazhab apa saja. Dengan cara pandang netral itu,
pendidikan di Ampel mendapat simpati kalangan
luas. Dari sinilah sebutan ''Sunan Ampel'' mulai
populer.
Ajarannya yang terkenal adalah falsafah ''Moh
Limo''. Artinya: tidak melakukan lima hal tercela.
Yakni moh main (tidak mau judi), moh ngombe (tidak
mau mabuk), moh maling (tidak mau mencuri), moh
madat (tidak mau mengisap candu), dan moh madon
(tidak mau berzina). Falsafah ini sejalan dengan
problem kemerosotan moral warga yang
dikeluhkan Sri Kertawijaya.
Sunan Ampel sangat memperhatikan kaderisasi.
Buktinya, dari sekian putra dan santrinya, ada yang
kemudian menjadi tokoh Islam terkemuka. Dari
perkawinannya dengan Nyai Ageng Manila, menurut
satu versi, Sunan Ampel dikaruniai enam anak. Dua
di antaranya juga menjadi wali, yaitu Sunan Bonang
(Makdum Ibrahim) dan Sunan Drajat (Raden Qosim).
Seorang putrinya, Asyikah, ia nikahkan dengan
muridnya, Raden Patah, yang kelak menjadi sultan
pertama Demak. Dua putrinya dari istri yang lain,
Nyai Karimah, ia nikahkan dengan dua muridnya
yang juga wali. Yakni Dewi Murtasiah, diperistri
Sunan Giri, dan Dewi Mursimah, yang dinikahkan
dengan Sunan Kalijaga.
Sunan Ampel biasa berbeda pendapat dengan
putra dan murid-mantunya yang juga para wali.
Dalam hal menyikapi adat, Sunan Ampel lebih
puritan ketimbang Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga
pernah menawarkan untuk mengislamkan adat
sesaji, selamatan, wayang, dan gamelan. Sunan
Ampel menolak halus.
''Apakah tidak khawatir kelak adat itu akan
dianggap berasal dari Islam?'' kata Sunan Ampel.
''Nanti bisa bidah, dan Islam tak murni lagi.''
Pandangan Sunan Ampel didukung Sunan Giri dan
Sunan Drajat. Sementara Sunan Kudus dan Sunan
Bonang menyetujui Sunan Kalijaga. Sunan Kudus
membuat dua kategori: adat yang bisa dimasuki
Islam, dan yang sama sekali tidak.
Ini mirip dengan perdebatan dalam ushul fiqih:
apakah adat bisa dijadikan sumber hukum Islam
atau tidak. Meski demikian, perbedaan itu tidak
mengganggu silaturahmi antarpara wali. Sunan
Ampel memang dikenal bijak mengelola perbedaan
pendapat. Karena itu, sepeninggal Maulana Malik
Ibrahim, ia diangkat menjadi sesepuh Wali Songo
dan mufti (juru fatwa) se-tanah Jawa.
Menurut satu versi, Sunan Ampel-lah yang
memprakarsai pembentukan Dewan Wali Songo,
sebagai strategi menyelamatkan dakwah Islam di
tengah kemelut politik Majapahit. Namun, mengenai
tanggal wafatnya, tak ada bukti sejarah yang pasti.
Sumber-sumber tradisional memberi titimangsa
yang berbeda.
Babad Gresik menyebutkan tahun 1481, dengan
candrasengkala ''Ngulama Ampel Seda Masjid''.
Cerita tutur menyebutkan, beliau wafat saat sujud di
masjid. Serat Kanda edisi Brandes menyatakan
tahun 1406. Sumber lain menunjuk tahun 1478,
setahun setelah berdirinya Masjid Demak. Ia
dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, di
areal seluas 1.000 meter persegi, bersama ratusan
santrinya.
Kompleks makam tersebut dikelilingi tembok besar
setinggi 2,5 meter. Makam Sunan Ampel bersama
istri dan lima kerabatnya dipagari baja tahan karat
setinggi 1,5 meter, melingkar seluas 64meter
persegi. Khusus makam Sunan Ampel dikelilingi
pasir putih. Setiap hari, penziarah ke makam Sunan
Ampel rata-rata 1.000 orang, dari berbagai
pelosok Tanah Air.
Jumlahnya bertambah pada acara ritual tertentu,
seperti saat Haul Agung Sunan Ampel ke-552, awal
November lalu. Pengunjungnya membludak sampai
10.000 orang. Kalau makam Maulana Malik Ibrahim
sepi penziarah di bulan Ramadhan, makam Sunan
Ampel justru makin ramai 24 jam pada bulan
puasa.