Facebook Pages

KISAH SUNAN DRAJAT

Diantara para wali, mungkin Sunan Drajat yang
punya nama paling banyak. Semasa muda ia dikenal
sebagai Raden Qasim, Qosim, atawa Kasim. Masih
banyak nama lain yang disandangnya di berbagai
naskah kuno. Misalnya Sunan Mahmud, Sunan
Mayang Madu, Sunan Muryapada, Raden Imam,
Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran
Syarifuddin, Pangeran Kadrajat, dan Masaikh Munat.
Dia adalah putra Sunan Ampel dari perkawinan
dengan Nyi Ageng Manila, alias Dewi Condrowati.
Empat putra Sunan Ampel lainnya adalah Sunan
Bonang, Siti Muntosiyah, yang dinikahi Sunan Giri,
Nyi Ageng Maloka, yang diperistri Raden Patah, dan
seorang putri yang disunting Sunan Kalijaga. Akan
halnya Sunan Drajat sendiri, tak banyak naskah yang
mengungkapkan jejaknya.
Ada diceritakan, Raden Qasim menghabiskan masa
kanak dan remajanya di kampung halamannya di
Ampeldenta, Surabaya. Setelah dewasa, ia
diperintahkan ayahnya, Sunan Ampel, untuk
berdakwah di pesisir barat Gresik. Perjalanan ke
Gresik ini merangkumkan sebuah cerita, yang kelak
berkembang menjadi legenda.
Syahdan, berlayarlah Raden Qasim dari Surabaya,
dengan menumpang biduk nelayan. Di tengah
perjalanan, perahunya terseret badai, dan pecah
dihantam ombak di daerah Lamongan, sebelah
barat Gresik. Raden Qasim selamat dengan
berpegangan pada dayung perahu. Kemudian, ia
ditolong ikan cucut dan ikan talang --ada juga yang
menyebut ikan cakalang.
Dengan menunggang kedua ikan itu, Raden Qasim
berhasil mendarat di sebuah tempat yang kemudian
dikenal sebagai Kampung Jelak, Banjarwati.
Menurut tarikh, persitiwa ini terjadi pada sekitar
1485 Masehi. Di sana, Raden Qasim disambut baik
oleh tetua kampung bernama Mbah Mayang Madu
dan Mbah Banjar.
Konon, kedua tokoh itu sudah diislamkan oleh
pendakwah asal Surabaya, yang juga terdampar di
sana beberapa tahun sebelumnya. Raden Qasim
kemudian menetap di Jelak, dan menikah dengan
Kemuning, putri Mbah Mayang Madu. Di Jelak,
Raden Qasim mendirikan sebuah surau, dan
akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji ratusan
penduduk.
Jelak, yang semula cuma dusun kecil dan terpencil,
lambat laun berkembang menjadi kampung besar
yang ramai. Namanya berubah menjadi Banjaranyar.
Selang tiga tahun, Raden Qasim pindah ke selatan,
sekitar satu kilometer dari Jelak, ke tempat yang
lebih tinggi dan terbebas dari banjir pada musim
hujan. Tempat itu dinamai Desa Drajat.
Namun, Raden Qasim, yang mulai dipanggil Sunan
Drajat oleh para pengikutnya, masih menganggap
tempat itu belum strategis sebagai pusat dakwah
Islam. Sunan lantas diberi izin oleh Sultan Demak,
penguasa Lamongan kala itu, untuk membuka lahan
baru di daerah perbukitan di selatan. Lahan berupa
hutan belantara itu dikenal penduduk sebagai
daerah angker.
Menurut sahibul kisah, banyak makhluk halus yang
marah akibat pembukaan lahan itu. Mereka
meneror penduduk pada malam hari, dan
menyebarkan penyakit. Namun, berkat
kesaktiannya, Sunan Drajat mampu mengatasi.
Setelah pembukaan lahan rampung, Sunan Drajat
bersama para pengikutnya membangun
permukiman baru, seluas sekitar sembilan hektare.
Atas petunjuk Sunan Giri, lewat mimpi, Sunan Drajat
menempati sisi perbukitan selatan, yang kini
menjadi kompleks pemakaman, dan dinamai
Ndalem Duwur. Sunan mendirikan masjid agak jauh
di barat tempat tinggalnya. Masjid itulah yang
menjadi tempat berdakwah menyampaikan ajaran
Islam kepada penduduk.
Sunan menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem
Duwur, hingga wafat pada 1522. Di tempat itu kini
dibangun sebuah museum tempat menyimpan
barang-barang peninggalan Sunan Drajat --
termasuk dayung perahu yang dulu pernah
menyelamatkannya. Sedangkan lahan bekas tempat
tinggal Sunan kini dibiarkan kosong, dan
dikeramatkan.
Sunan Drajat terkenal akan kearifan dan
kedermawanannya. Ia menurunkan kepada para
pengikutnya kaidah tak saling menyakiti, baik
melalui perkataan maupun perbuatan. ''Bapang den
simpangi, ana catur mungkur,'' demikian petuahnya.
Maksudnya: jangan mendengarkan pembicaraan
yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi
melakukan perbuatan itu.
Sunan memperkenalkan Islam melalui konsep
dakwah bil-hikmah, dengan cara-cara bijak, tanpa
memaksa. Dalam menyampaikan ajarannya, Sunan
menempuh lima cara. Pertama, lewat pengajian
secara langsung di masjid atau langgar. Kedua,
melalui penyelenggaraan pendidikan di pesantren.
Selanjutnya, memberi fatwa atau petuah dalam
menyelesaikan suatu masalah.
Cara keempat, melalui kesenian tradisional. Sunan
Drajat kerap berdakwah lewat tembang pangkur
dengan iringan gending. Terakhir, ia juga
menyampaikan ajaran agama melalui ritual adat
tradisional, sepanjang tidak bertentangan dengan
ajaran Islam.
Empat pokok ajaran Sunan Drajat adalah: Paring
teken marang kang kalunyon lan wuta; paring
pangan marang kang kaliren; paring sandang
marang kang kawudan; paring payung kang
kodanan. Artinya: berikan tongkat kepada orang
buta; berikan makan kepada yang kelaparan;
berikan pakaian kepada yang telanjang; dan berikan
payung kepada yang kehujanan.
Sunan Drajat sangat memperhatikan
masyarakatnya. Ia kerap berjalan mengitari
perkampungan pada malam hari. Penduduk merasa
aman dan terlindungi dari gangguan makhluk halus
yang, konon, merajalela selama dan setelah
pembukaan hutan. Usai salat asar, Sunan juga
berkeliling kampung sambil berzikir, mengingatkan
penduduk untuk melaksanakan salat magrib.
''Berhentilah bekerja, jangan lupa salat,'' katanya
dengan nada membujuk. Ia selalu menelateni warga
yang sakit, dengan mengobatinya menggunakan
ramuan tradisional, dan doa. Sebagaimana para
wali yang lain, Sunan Drajat terkenal dengan
kesaktiannya. Sumur Lengsanga di kawasan
Sumenggah, misalnya, diciptakan Sunan ketika ia
merasa kelelahan dalam suatu perjalanan.
Ketika itu, Sunan meminta pengikutnya mencabut
wilus, sejenis umbi hutan. Ketika Sunan kehausan, ia
berdoa. Maka, dari sembilan lubang bekas umbi itu
memancar air bening --yang kemudian menjadi
sumur abadi. Dalam beberapa naskah, Sunan Drajat
disebut-sebut menikahi tiga perempuan. Setelah
menikah dengan Kemuning, ketika menetap di Desa
Drajat, Sunan mengawini Retnayu Condrosekar,
putri Adipati Kediri, Raden Suryadilaga.
Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada 1465 Masehi.
Menurut Babad Tjerbon, istri pertama Sunan Drajat
adalah Dewi Sufiyah, putri Sunan Gunung Jati.
Alkisah, sebelum sampai di Lamongan, Raden
Qasim sempat dikirim ayahnya berguru mengaji
kepada Sunan Gunung Jati. Padahal, Syarif
Hidayatullah itu bekas murid Sunan Ampel.
Di kalangan ulama di Pulau Jawa, bahkan hingga
kini, memang ada tradisi ''saling memuridkan''.
Dalam Babad Tjerbon diceritakan, setelah menikahi
Dewi Sufiyah, Raden Qasim tinggal di Kadrajat. Ia
pun biasa dipanggil dengan sebutan Pangeran
Kadrajat, atau Pangeran Drajat. Ada juga yang
menyebutnya Syekh Syarifuddin.
Bekas padepokan Pangeran Drajat kini menjadi
kompleks perkuburan, lengkap dengan cungkup
makam petilasan, terletak di Kelurahan Drajat,
Kecamatan Kesambi. Di sana dibangun sebuah
masjid besar yang diberi nama Masjid Nur Drajat.
Naskah Badu Wanar dan Naskah Drajat
mengisahkan bahwa dari pernikahannya dengan
Dewi Sufiyah, Sunan Drajat dikaruniai tiga putra.
Anak tertua bernama Pangeran Rekyana, atau
Pangeran Tranggana. Kedua Pangeran Sandi, dan
anak ketiga Dewi Wuryan. Ada pula kisah yang
menyebutkan bahwa Sunan Drajat pernah menikah
dengan Nyai Manten di Cirebon, dan dikaruniai
empat putra. Namun, kisah ini agak kabur, tanpa
meninggalkan jejak yang meyakinkan.
Tak jelas, apakah Sunan Drajat datang di Jelak
setelah berkeluarga atau belum. Namun, kitab Wali
Sanga babadipun Para Wali mencatat: ''Duk samana
anglaksanani, mangkat sakulawarga....'' Sewaktu
diperintah Sunan Ampel, Raden Qasim konon
berangkat ke Gresik sekeluarga. Jika benar, di
mana keluarganya ketika perahu nelayan itu pecah?
Para ahli sejarah masih mengais-ngais naskah kuno
untuk menjawabnya.
Beliau wafat dan dimakamkan di desa Drajad,
kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Jawa
Timur. Tak jauh dari makam beliau telah dibangun
Museum yang menyimpan beberapa peninggalan di
jaman Wali Sanga. Khususnya peninggalan beliau di
bidang kesenian.