Facebook Pages

KISAH SUNAN BONANG

Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Sunan
Bonang itu nama aslinya adalah Syekh Maulana
Makhdum Ibrahim. Putra Sunan Ampel dan Dewi
Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila.
Ada yang mengatakan Dewi Condrowati itu adalah
putri Prabu Kertabumi ada pula yang berkata
bahwa Dewi Condrowati adalah putri angkat
Adipati Tuban yang sudah beragama Islam yaitu
Ario Tejo.
Sebagai seorang Wali yang disegani dan dianggap
Mufti atau pemimpin agama se Tanah Jawa,tentu
saja Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat
tinggi.
Sejak kecil, Raden Makdum Ibrahim sudah diberi
pelajaran agama Islam secara tekun dan disiplin.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa latihan atau riadha
para Wali itu lebih berat dari pada orang awam.
Raden Makdum Ibrahim adalah calon Wali yang
besar, maka Sunan Ampel sejak dini juga
mempersiapkan sebaik mungkin. Disebutkan dari
berbagai literature bahwa Raden Makdum Ibrahim
dan Raden Paku sewaktu masih remaja meneruskan
pelajaran agama Islam hingga ke Tanah
seberang,yaitu Negeri Pasai. Keduanya menambah
pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau
ayah kandung dari Sunan Giri, juga belajar kepada
para ulama besar yang banyak menetap di Negeri
Pasai.Seperti ulama ahli tasawuf yang berasal dari
Bagdad, Mesir, Arab dan Persi atau Iran. Sesudah
belajar di Negeri Pasai, Raden Makdum Ibrahim dan
Raden Paku pulang keJawa. Raden Paku kembali ke
Gresik, mendirikan pesantren di Giri sehingga
terkenal sebagai Sunan Giri.
Sedang Raden Makdum Ibrahim diperintahkan
Sunan Ampel untuk berdakwah diTuban. Dalam
berdakwa Raden Makdum Ibrahim ini sering
mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik
simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan
yang disebut Bonang.
Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan
dibagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan
kayu lunak maka timbullah suaranya yang merdu
ditelinga penduduk setempat. Lebih -lebih bila
Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan
alat musik itu, beliau adalah seorang Wali yang
mempunyai cita rasa seni yang tinggi, sehingga
beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi
para pendengarnya. Setiap Raden Makdum Ibrahim
membunyikan Bonang, pasti banyak penduduk yang
datang ingin mendengarkannya. Dan tidak sedikit
dari mereka yang ingin belajar membunyikan
Bonang sekaligus melagukan tembang -tembang
ciptaan Raden Makdum Ibrahim.
Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang
dijalankan penuh kesabaran.Setelah rakyat berhasil
direbut simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran
Islam kepada mereka.
Tembang-tembang yang diajarkan Raden Makdum
Ibrahim adalah tembang yang berisikan ajaran
agama Islam.Sehingga tanpa terasa penduduk sudah
mempelajari agama Islam dengan senang hati,
bukan dengan paksaan.
Diantara tembang yang terkenal ialah :
"Tamba ati iku sak warnane,
Maca Qur'an angen-angen sak maknane,
Kaping pindho shalat sunah lakonona,
Kaping telu wong kang saleh kancanana,
Kaping papat kudu wetheng ingkang luwe,
Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe,
Sopo wongé bisa ngelakoni, Insya Allah Gusti Allah
nyemba dani.
Artinya :
Obat sakit jiwa ( hati ) itu ada lima jenisnya.
Pertama membaca Al-Qur'an dengan artinya,
Kedua mengerjakan shalat malam ( sunnah
Tahajjud ),
Ketiga sering bersahabat dengan orang saleh
( berilmu ),
Keempat harus sering berprihatin ( berpuasa ),
Kelima sering berdzikir mengingat Allah di waktu
malam,
Siapa saja mampu mengerjakannya, Insya Allah
Tuhan Allah mengabulkan.
Hingga sekarang lagi ini sering dilantunkan para
santri ketika hendak shalat jama'ah, baik di
pedesaan maupun dipesantren. Murid-murid Raden
Makdum Ibrahim ini sangat banyak, baik yang
berada di Tuban, Pulau Bawean, Jepara maupun
Madura. Karena beliau sering mempergunakan
Bonang dalam berdakwah maka masyarakat
memberinya gelar Sunan Bonang. Beliau juga
menciptakan karya sastra yang disebut Suluk.Hingga
sekarang karya sastra Sunan Bonang itu dianggap
sebagai karya yang sangat hebat, penuh keindahan
dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan
Bonang disimpan rapi di Perpustakaan Universitas
Leiden, Belanda. (Nederland )
Pada masa hidupnya, Sunan Bonang termasuk
penyokong kerajaan Islam Demak, dan ikut
membantu mendirikan Masjid Agung Demak. Oleh
masyarakat Demak ketika itu, ia dikenal sebagai
pemimpin bala tentara Demak. Dialah yang
memutuskan pengangkatan Sunan Ngudung sebagai
panglima tentara Islam Demak.
Ketika Sunan Ngudung gugur, Sunan Bonang pula
yang mengangkat Sunan Kudus sebagai panglima
perang. Nasihat yang berharga diberikan pula pada
Sunan Kudus tentang strategi perang menghadapi
Majapahit. Selain itu, Sunan Bonang dipandang adil
dalam membuat keputusan yang memuaskan
banyak orang, melalui sidang-sidang ''pengadilan''
yang dipimpinnya.
Misalnya dalam kisah pengadilan atas diri Syekh Siti
Jenar, alias Syekh Lemah Abang. Lokasi
''pengadilan'' itu sendiri punya dua versi. Satu versi
mengatakan, sidang itu dilakukan di Masjid Agung
Kasepuhan, Cirebon. Tapi, versi lain menyebutkan,
sidang itu diselenggarakan di Masjid Agung Demak.
Sunan Bonang juga berperan dalam pengangkatan
Raden Patah.
Dalam menyiarkan ajaran Islam, Sunan Bonang
mengandalkan sejumlah kitab, antara lain Ihya
Ulumuddin dari al-Ghazali, dan Al-Anthaki dari
Dawud al-Anthaki. Juga tulisan Abu Yzid Al-
Busthami dan Syekh Abdul Qadir Jaelani. Ajaran
Sunang Bonang, menurut disertasi JGH Gunning dan
disertasi BJO Schrieke, memuat tiga tiang agama:
tasawuf, ussuludin, dan fikih.
Ajaran tasawuf, misalnya, menurut versi Sunan
Bonang menjadi penting karena menunjukkan
bagaimana orang Islam menjalani kehidupan
dengan kesungguhan dan kecintaannya kepada
Allah. Para penganut Islam harus menjalankan,
misalnya, salat, berpuasa, dan membayar zakat.
Selain itu, manusia harus menjauhi tiga musuh
utama: dunia, hawa nafsu, dan setan.
Untuk menghindari ketiga ''musuh'' itu, manusia
dianjurkan jangan banyak bicara, bersikap rendah
hati, tidak mudah putus asa, dan bersyukur atas
nikmat Allah. Sebaliknya, orang harus menjauhi
sikap dengki, sombong, serakah, serta gila pangkat
dan kehormatan. Menurut Gunning dan Schrieke,
naskah ajaran Sunan Bonang merupakan naskah
Wali Songo yang relatif lebih lengkap.
Ajaran wali yang lain tak ditemukan naskahnya, dan
kalaupun ada, tak begitu lengkap. Di situ disebutkan
pula bahwa ajaran Sunan Bonang berasal dari
ajaran Syekh Jumadil Kubro, ayahanda Maulana
Malik Ibrahim, yang menurunkan ajaran kepada
Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan
Kalijaga, dan Sunan Muria.
Dikisahkan beliau pernah menaklukkan seorang
pemimpin perampok dan anak buahnya hanya
mempergunakan tambang dan gending. Dharma
dan irama Mocopa,t Begitu gending ditabuh
Kebondanu dan anak buahnya tidak mampu
bergerak, seluruh persendian mereka seperti
dilolosi dari tempatnya. Sehingga gagallah mereka
melaksanakan niat jahatnya.
"Ampun.......... hentikanlah bunyi gamelan itu, kami
tidak kuat !" Demikian rintih Kebondanu dan anak
buahnya.
"Gending yang kami bunyikan sebenarnya tidak
berpengaruh buruk terhadap kalian jika saja hati
kalian tidak buruk dan jahat."
"Ya, kami menyerah, kami tobat !Kami tidak akan
melakukan perbuatan jahat lagi, tapi.......... "
Kebondanu ragu meneruskan ucapannya.
"Kenapa Kebondanu, teruskan ucapanmu !" ujar
Sunan Bonang.
"Mungkinkah Tuhan mengampuni dosa-dosa kami
yang sudah tak terhitung lagi banyaknya," kata
Kebondanu dengan ragu. "Kami sudah sering
merampok, membunuh dan melakukan tindak
kejahatan lainnya."
"Pintu tobat selalu terbuka bagi siapa saja," kata
Sunan Bonang. "Allah adalah Tuhan Yang Maha
Pengampun dan Penerima tobat."
"Walau dosa kami setinggi gunung ?" Tanya
Kebondanu.
"Ya, walau dosamu setinggi gunung dan sebanyak
pasir dilaut."
Akhirnya Kebondanu benar-benar bertobat dan
menjadi murid Sunan Bonang yang setia. Demikian
pula anak buahnya. Pada suatu ketika juga ada
seorang Brahmana sakti dari India yang berlayar ke
Tuban. Tujuannya hendak mengadu kesaktian dan
berdebat tentang masalah keagamaan dengan
Sunan Bonang. Namun ketika ia berlayar menuju
Tuban, perahunya terbalik dihantam badai.
Walaupun ia dan para pengikutnya berhasil
menyelamatkan diri kitab-kitab referensi yang
hendak dipergunakan untuk berdebat dengan Sunan
Bonang telah tenggelam ke dasar laut. Di tepi pantai
mereka melihat seorang lelaki berjubah putih
sedang berjalan sembari membawa tongkat.
Mereka menghentikan lelaki itu dan menyapanya.
Lelaki berjubah putih itu menghentikan langkah dan
menancapkan tongkatnya ke pasir.
"Saya datang dari India hendak mencari seorang
ulama besar bernama Sunan Bonang."kata sang
Brahmana.
"Untuk apa Tuan mencari Sunan Bonang?" tanya
lelaki itu.
"Akan saya ajak berdebat tentang masalah
keagamaan,kata sang Brahmana."Tapi sayang kitab
- kitab yang saya bawa telah tenggelam kedasar
laut."
Tanpa banyak bicara lelaki itu mencabut tongkatnya
yang menancap dipasir,mendadak tersemburlah air
dari lubang tongkat itu, membawa keluar semua
kitab yang dibawa sang Brahmana.
"Itukah kitab-kitab Tuan yang tenggelam kedasar
laut?"Tanya lelaki itu.
Sang Brahmana dan pengikutnya memeriksa kitab-
kitab itu. Ternyata benar miliknya sendiri.
Berdebarlah hati sang Brahmana sembari
menduga-duga siapa sebenarnya lelaki berjubah
putih itu.
"Apakah nama daerah tempat saya terdampar
ini?"tanya sang Brahmana
"Tuan berada dipantai Tuban !"jawab lelaki itu.Serta
merta Brahmana dan para pengikutnya
menjatuhkan diri berlutut dihadapan lelaki
itu.Mereka sudah dapat mendiga pastilah lelaki
berjubah putih itu adalah Sunan Bonang sendiri.
Siapalagi orang sakti berilmu tinggi yang berada
dikota Tuban selain Sunan Bonang.Sang Brahmana
tidak jadi melaksanakan niatnya menantang Sunan
Bonang untuk adu kesaktian dan mendebat masala
Karena itu, sampai sekarang, makam Sunan Bonang
ada di dua tempat. Satu di Pulau Bawean, dan
satunya lagi di sebelah barat Masjid Agung Tuban,
Desa Kutareja, Tuban. Kini kuburan itu dikitari
tembok dengan tiga lapis halaman. Setiap halaman
dibatasi tembok berpintu gerbang.Adalagi legenda
aneh tentang Sunan Bonang.Sewaktu beliau wafat,
jenasahnya hendak dibawa ke Surabaya untuk
dimakamkan disamping Sunan Ampel yaitu
ayahandanya.Tetapi kapal yang digunakan
mengangkut jenazahnya tidak bisa bergerak
sehingga terpaksa jenazahnya Sunan Bonang
dimakamkan di Tuban yaitu disebelah barat Masjid
Jami 'Tuban.