Facebook Pages

KISAH SUNAN KUDUS

MESKI namanya Sunan Kudus, ia bukanlah asli
Kudus. Dia datang dari Jipang Panolan (ada yang
mengatakan disebelah utara Blora), berjarak 25
kilometer ke arah barat kota Kudus, Jawa Tengah.
Di sanalah ia dilahirkan, dan diberi nama Ja'far
Shodiq. Ia adalah anak dari hasil perkawinan Sunan
Undung atau Sunan Ngudung (Raden Usman Haji)
dengan Syarifah, cucu Sunan Ampel. Semasa
jayanya, Sultan Undung terkenal sebagai panglima
perang yang tangguh.
Sampai suatu waktu, Sunan Undung tewas dalam
peperangan antara Demak dan Majapahit. Setelah
itu, Ja'far Shodiq menggantikan posisi ayahnya.
Tugas utamanya ialah menaklukkan wilayah
Kerajaan Majapahit untuk memperluas kekuasaan
Demak. Kenyataannya, Ja'far Shodiq terbukti hebat
di medan perang, tak kalah dengan kepiawaian
ayahnya.
Ja'far Shodiq berhasil mengembangkan wilayah
Kerajaan Demak, ke timur mencapai Madura, dan
ke arah barat hingga Cirebon. Sukses ini kemudian
memunculkan berbagai cerita kesaktian Ja'far
Shodiq. Misalnya, sebelum perang, Ja'far Shodiq
diberi badong --semacam rompi-- oleh Sunan
Gunung Jati. Badong itu dibawa berkeliling arena
perang.
Dari badong sakti itu kemudian keluarlah jutaan
tikus, yang juga ternyata sakti. Kalau dipukul, tikus
itu bukannya mati, malah makin mengamuk sejadi-
jadinya. Pasukan Majapahit ketakutan lari tunggang
langgang. Dia juga punya sebuah peti, yang bisa
mengeluarkan jutaan tawon. Banyak prajurit
Majapahit yang tewas disengat tawon.
Yang pasti, pemimpin pasukan Majapahit, Adipati
Terung, menyerah kepada pasukan Ja'far Shodiq.
Usai perang, Ja'far Shodiq menikahi putri Adipati
Terung, yang kemudian menghasilkan delapan anak.
Selama hidupnya, Ja'far Shodiq sendiri juga punya
istri lain, antara lain putri Sunan Bonang, yang
menghasilkan satu anak.
Sukses mengalahkan Majapahit membuat posisi
Ja'far Shodiq makin kokoh. Dia mendapat tugas
lanjutan untuk mengalahkan Adipati Handayaningrat,
yang berniat makar terhadap Kerajaan Demak.
Adipati Handayaningrat merupakan gelar yang
disandang Kebo Kenanga, penguasa daerah
Pengging --wilayah Boyolali-- dan sekitarnya.
Kebo Kenanga berniat mendirikan negara sendiri
bersama Ki Ageng Tingkir. Pasangan ini merupakan
pengikut Syekh Siti Jenar, seorang guru yang
mengajarkan hidup model sufi. Kebo Kenanga dan
Tingkir digambarkan sebagai saudara seperjuangan,
yang saling menyayangi bagaikan saudara kandung.
Tanda-tanda pembangkangan Kebo Kenanga makin
kentara ketika ia menolak menghadap Raja Demak,
Adipati Bintara, atau yang lebih dikenal dengan
sebutan Raden Patah. Surat panggilan yang dibuat
Raden Patah ditelantarkan hingga tiga tahun oleh
Kebo Kenanga. Maka, Raden Patah memutuskan
untuk mematahkan pembangkangan Kebo Kenanga
itu.
Raden Patah memerintahkan Ja'far Shodiq
''meredam'' Kebo Kenanga. Dalam sebuah
pertarungan, Kebo Kenanga tewas. Namun,
kehebatan Ja'far Shodiq sebagai panglima perang
lama-kelamaan surut. Bahkan, menjelang
kepindahannya ke Kudus, Ja'far Shodiq tidak lagi
menjadi panglima perang, melainkan menjadi
penghulu masjid di Demak.
Terdapat beberapa versi tentang kepergian Ja'far
Shodiq dari Demak. Ada kemungkinan, Ja'far Shodiq
berselisih paham dengan Raja Demak. Kemungkinan
lain, Ja'far Shodiq berselisih paham dengan Sunan
Kalijaga. Dalam Serat Kandha disebutkan, Ja'far
Shodiq memiliki murid, Pangeran Prawata.
Belakangan, Pangeran Prawata justru mengakui
Sunan Kalijaga sebagai guru baru.
Bagi Ja'far Shodiq, Pangeran Prawata durhaka
karena mengakui dua guru sekaligus. Ketika
Pangeran Prawata menjadi Raja Demak, Ja'far
Shodiq berniat membunuhnya, melalui tangan Arya
Penangsang, yang tiada lain dari pada adik kandung
Prawata. Agaknya, Arya Penangsang tidak tega,
maka dia pun menyuruh orang lain lagi, yang
bernama Rangkud.
Pangeran Prawata akhirnya tewas bersama istrinya,
setelah ditikam Rangkud. Jenazah Prawata
bersandar ke badan istrinya, karena keduanya
tertembus pedang. Rangkud juga mati. Sebab, tanpa
diduga, sebelum mengembuskan napas
penghabisan, Prawata sempat melempar keris Kiai
Bethok ke tubuh Rangkud.
Versi lain menyebutkan, Ja'far Shodiq meninggalkan
Demak karena alasan pribadi semata. Ia ingin hidup
merdeka dan membaktikan seluruh hidupnya untuk
kepentingan agama Islam. Belum jelas kapan
persisnya Ja'far Shodiq tiba di Kudus. H.J. De Graaf
dan T.H. Pigeaud dalam bukunya, Kerajaan Islam
Pertama di Jawa, mencoba mengumpulkan
beberapa catatan tentang aktivitas Ja'far Shodiq di
sana.
Kedua peneliti itu menyatakan, ketika Ja'far Shodiq
menginjakkan kaki di Kudus, kota itu masih
bernama Tajug. Menurut penuturan warga
setempat, yang mula-mula mengembangkan kota
Tajug adalah Kiai Telingsing. Ada yang menyebut,
Telingsing merupakan panggilan sederhana kepada
The Ling Sing, orang Cina beragama Islam.
Cerita ini menunjukkan bahwa kota itu sudah
berkembang sebelum kedatangan Ja'far Shodiq.
Beberapa cerita tutur mempercayai bahwa Ja'far
Shodiq merupakan penghulu Demak yang
menyingkir dari kerajaan. Di Tajug, Ja'far Shodiq
mula-mula hidup di tengah-tengah jamaah dalam
kelompok kecil. Ada yang menafsirkan, jamaah
Ja'far Shodiq itu merupakan para santri yang
dibawanya dari Demak.
Mereka sekaligus para tentara yang ikut bersama-
sama Ja'far Shodiq memerangi Majapahit. Versi lain
menyebutkan, para pengikutnya itu merupakan
warga setempat yang dipekerjakan Ja'far Shodiq
untuk menggarap tanah ladang. Ini bisa ditafsirkan
bahwa Ja'far Shodiq mula-mula hidup dari
penghasilan menggarap lahan pertanian.
Setelah jamaahnya makin banyak, Ja'far Shodiq
kemudian membangun masjid sebagai tempat
ibadah dan pusat penyebaran agama. Tempat
ibadah yang diyakini dibangun oleh Ja'far Shodiq
adalah Masjid Menara Kudus, yang kini masih
berdiri. Nama Ja'far Shodiq tercatat dalam inskripsi
masjid tersebut.
Menurut catatan di situ, masjid ini didirikan pada
956 Hijriah, sama dengan 1549 Masehi. Dalam
inskripsi terdapat kalimat berbahasa Arab yang
artinya, ''... Telah mendirikan masjid Aqsa ini di
negeri Quds...'' Sangat jelas bahwa Ja'far Shodiq
menamakan masjid itu dengan sebutan Aqsa, setara
dengan Masjidil Aqsa di Yerusalem.
Kota Tajug juga mendapat nama baru, yakni Quds,
yang kemudian berubah menjadi Kudus. Pada
akhirnya, Ja'far Shodiq sendiri lebih terkenal dengan
sebutan Sunan Kudus. Dalam menyebarkan
agamanya, Sunan Kudus mengikuti gaya Sunan
Kalijaga, yakni menggunakan model ''tutwuri
handayani''. Artinya, Sunan Kudus tidak melakukan
perlawanan frontal, melainkan mengarahkan
masyarakat sedikit demi sedikit.
Ketika itu, masyarakat Kudus masih didominasi
penganut Hindu. Maka, Sunan Kudus pun berusaha
memadukan kebiasaan mereka ke dalam syariat
Islam secara halus. Misalnya, Sunan Kudus justru
menyembelih kerbau, bukan sapi, pada saat hari
raya Idul Qurban. Itu merupakan bagian dari
penghormatan Sunan Kudus kepada para pengikut
Hindu.
Cara yang simpatik itu membuat para penganut
agama lain bersedia mendengarkan ceramah agama
Islam dari Sunan Kudus. Surat Al-Baqarah, yang
dalam bahasa Arab artinya sapi, sering dibacakan
Sunan Kudus untuk lebih memikat pendengar.
Pembangunan Masjid Kudus sendiri tidak
meninggalkan unsur arsitektur Hindu. Bentuk
menaranya tetap menyisakan arsitektur gaya Hindu.
Diantara bekas peninggalan beliau adalah Masjid
Raya di-Kudus, yang kemudian dikenal dengan
sebutan Masjid Menara Kudus. Oleh karena di
halaman masjid tersebut terdapat sebuah menara
kuno yang indah. Mengenai asal-usulnya nama
Kudus menurut dongeng (legenda) yang hidup
dikalangan masyarakat setempat ialah, bahwa
dahulu Sunan Kudus pernah pergi naik haji sambil
menuntut ilmu di tanah Arab, kemudian beliau juga
mengajar di sana. Pada suatu masa, di tanah arab
konon berjangkit suatu wabah penyakit yang
membahayakan, penyakit itu menjadi reda berkat
jasa Sunan Kudus. Oleh karena itu, seorang amir
disana berkenan untuk memberikan suatu hadiah
kepada beliau. Akan tetapi beliau menolak, hanya
kenang-kenangan sebuah batu yang beliau minta.
Batu tersebut katanya berasal dari kota Baitul
Makdis, atau Jeruzalem, maka sebagai peringatan
kepada kota dimana Ja'far Sodiq hidup serta
bertempat tinggal, kemudian diberikan nama Kudus.
Bahkan menara yang terdapat di depan masjid
itupun juga menjadi terkenal dengan sebutan
Menara Kudus. Mengenai nama Kudus atau Al
Kudus ini di dalam buku Encyclopedia Islam antara
lain disebutkan : "Al kuds the usual arabic nama for
Jeruzalem in later times, the olders writers call it
commonly bait al makdis ( according to some :
mukaddas ), with really meant the temple (of
solomon), a translation of the hebrew
bethamikdath, but it because applied to the whole
town."
Kebiasaan unik lain Sunan Kudus dalam berdakwah
adalah acara bedug dandang, berupa kegiatan
menunggu datangnya bulan Ramadhan. Untuk
mengundang para jamaah ke masjid, Sunan Kudus
menabuh beduk bertalu-talu. Setelah jamaah
berkumpul di masjid, Sunan Kudus mengumumkan
kapan persisnya hari pertama puasa.
Sekarang ini, acara dandangan masih berlangsung,
tapi sudah jauh dari aslinya. Menjelang Ramadhan,
banyak orang datang ke areal masjid. Tetapi,
mereka bukan hendak mendengarkan pengumuman
awal puasa, hanya untuk membeli berbagai juadah
yang dijajakan para pedagang musiman.
Beliau wafat dan dimakamkan di sebelah barat
Masjid Jami Kudus. Jika orang memandang Menara
Masjid Kudus yang lain sangat aneh dan artistik
tersebut pasti akan segera teringat pada pendirinya
yaitu Sunan Kudus.
Legenda Kota Kudus
Nama Sunan Kudus di kalangan masyarakat
setempat, dimitoskan sebagai seorang tokoh yang
terkenal dengan seribu satu tentang kesaktianya,
Sunan Kudus dikatanya sebagai wali yang sakti,
yang dapat diperbuat sesuatu di luar kesanggupan
otak dan tenaga manusia biasa.
Dalam dongeng yang masih hidup di kalangan
masyarakat, antara lain dikatakan, bahwa pada
zaman dahulu pernah Sunan Kudus pergi haji serta
bermukim disana. Kemudian beliau menderita
penyakit kudis ( bhs. Jawa : gudigen ), sehingga oleh
kawan - kawan beliau, Sunan Kudus dihina. Entah
kenapa timbullah malapetaka yang menimpa negeri
Arab dengan berjangkitnya wabah penyakit. Segala
daya upaya telah dilakukan untuk mengatasi bahaya
tersebut, namun kiranya usaha itu sia - sia belaka.
Akhirnya di mintalah bantuan beliau untuk
memberikan jasa - jasa baiknya. Bahaya itupun
karena kesaktian beliau menjadi reda kembali. Atas
jasa beliau, Amir dari negeri Arab itupun berkenan
memberi hadiah kepada beliau sebagai pembalasan
jasa. Akan tetapi Sunan Kudus menolak pemberian
hadiah berupa apapun juga. Dan beliau hanya
meminta sebuah batu sebagai kenang - kenangan
yang akan dipakai sebagai peringatan bagi
pendirian masjid di Kudus.
Jauh sebelum masjid kuno itu didirikan beliau konon
kabarnya masjid yang terletak di desa Nganguk di
Kudus itu adalah masjid Sunan Kudus yang pertama
kali. Dalam dongeng di ceritakan, bahwa jauh
sebelum Sunan Kudus memegang tampuk pimpinan
di Kudus, telah ada seorang tokoh terkemuka
disana ialah Kyai Telingsing. karena beliau sudah
lanjut usia maka ia ingin mencari penggantinya.
Pada suatu hari Kyai Telingsing berdiri sambil
menengok ke kanan dan ke kiri seperti ada yang
dicarinya (bhs. Jawa : ingak - inguk), tiba - tiba
Sunan Kudus pun muncul dari arah selatan, dan
masjidpun segera dibinanya di dalam waktu yang
amat singkat, malahan ada yang mengatakan
bahwa masjid itu tiba - tiba muncul denga
sendirinya (bhs. Jawa : Majid tiban), berhubungan
dengan itu desa tersebut kemudian di beri nama :
Nganguk, sedangkan masjidnya dinamakan Masjid
Nganguk Wali.
Lebih jauh dalam dongeng itupun disebutkan,
bahwa baik Menara Kudus maupun lawang
kembar, masing - masing di bawa oleh beliau
dengan di bungkus sapu tangandari tanah Arab,
sedangkan lawang kembar, katanya di pindahkan
beliau dari Majapahit.
Legenda daerah Jember
Sekali peristiwa, datang seorang tamu bernama Ki
Ageng Kedu yang hendak menghadap Sunan Kudus.
tamu tersebut mengendarai sebuah tampah.
sesampainya di Kudus Ki Ageng Kedu tidak lah
langsung menghadap Sunan Kudus, melainkan
memamerkan kesaktianya dengan mengendarai
tampah serta berputar - putar diangkasa. Seketika
dilihatnya oleh Sunan Kudus, maka beliau murka
sambil mengatakan, bahwa tamu Ki Ageng Kedu ini
menyombongkan kesaktianya. Sesudah di sabda
oleh beliau, berkat kesaktian Sunan Kudus, tampah
yang ditumpangi Ki Ageng Kedu itupun meluncur ke
bawah hingga jatuh ke tanah yang becek (bhs.
Jawa : ngecember), sehingga tempat tersebut
kemudian dinamakan Jember
Selain itu di dalam dongeng di sebutkan bahwa
pada suatu hari Sunan Kudus memakan ikan lele,
kemudian setelah tinggal tulang dan kepalanya,
dibuanglah oleh Sunan Kudus ke dalam sebuah
sumur, maka ikan yang tinggal tulang dan kepala
itupun hidup kembali.
Di dalam "Babad Tanah Jawi" serta kepustakaan
Jawa lainya dikatakan, bahwa nama kecil Sunan
Kudus ialah Raden Undung, beliau pernah
memimpin tentara Demak melawan Majapahit.
Selanjutnya juga di sebutkan bahwa Sunan Kudus
lah yang membunuh Syekh Siti Jenar dan Kebo
Kenanga, karena keduanya mengajarkan ilmu yang
di pandang sangat membahayakan masyarakat yang
baru saja memeluk agama Islam.